Jumat, 13 Januari 2012

Kepala Desa Cimara, Meminta Keseriusan Pemkab



1NOV
A. Manan, Kepala Desa Cimara Kecamatan Pasawahan, menuturkan. Pihaknya akan melakukan rehab total gedung balai desa. Semula direncanakan hanya bagian yang rusak parah. Namun setelah dimusyawarahkan dengan masyarakat, disepakati dibangun dua lantai. Rencana ini tujuannya selain meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat supaya lebih maksimal.
Juga memberikan citra positif terhadap pertumbuhan desa-desa perbatasan di Kabupaten Kuningan dengan Kabupaten lainnya. Khususnya Desa Cimara, berbatasan langsung dengan Kabupaten Cirebon dan Majalengka. Selama ini citra desa perbatasan tidak memeroleh perhatian Pemkab Kuningan. Padahal sebagai pintu gerbang tentunya mendapat perlakuan prioritas dalam pembangunan.
“Sebagai warga juga aparat pemerintah di Kabupaten Kuningan, merasa perihatin atas ketidakseriusan Pemkab Kuningan menata desa-desa perbatasan dengan kabupaten lain. Padahal desa yang dianggap selama oleh Pemkab sebagai pintu gerbang kawasan namun keberadaannya tidak diperhatikan. Sementara pihak desa tidak bisa menata dengan baik karena persoalan dana,” ungkap A. Manan.
Sangat beralasan pendapat A. Manan, sebab 90 persen penduduknya menyandarkan penghasilannya berasal dari sektor pertanian. Kendati demikian, bukan berarti warganya pemilik lahan pertanian. Namun hanya buruh tani. Sebelumnya memang sawah miliknya sendiri tapi belakangan dijual. Dengan alasan beragam. Dikarenakan terjepit persoalan ekonomi akhirnya menjual ke pihak yang memiliki lumayan dana.
Ada juga penggunaannya untuk membantu biaya kuliah anak-anaknya di kota-kota besar. “Pendapatan mereka yang minim, tidak bisa dijadikan alat untuk dilakukan swadaya murni masyarakat. Kendati demikian, atas kesadaran mereka pula mampu melakukan swadaya meski tidak terlalu besar,” ungkapnya.
Contohnya, pembangunan balai desa diperkirakan menghabiskan biaya 130 juta rupiah. Dana itu berasal dari dana alokasi desa (ADD) 30 juta, bantuan pemerintah 25 juta dan sisanya swadaya. Seharusnya, kata A. Manan, Pemkab Kuningan lebih banyak mengucurkan dana untuk pembangunan. Baik penataan jalan lingkungan, jalan desa dan pengadaan kantor pemerintah lainnya.
Selain itu, guna meningkatkan usaha petani dan buruh tani dibutuhkan dana talangan usaha. Apalagi di Desa Cimara, terkenal dengan salak pondohnya. Kendati, nama salak itu bukan berasal dari Cimara, namun varietas salaknya sangat cocok dengan tingkat keasaman tanah. Jika saja, mendapat perhatian serius, tentunya penghasilan msayarakat meningkat.***

Manisnya Salak Cimara, Namun Belum Didaftarkan ke PBB


3NOV
Desa Cimara Kecamatan Pasawahan, mungkin tidak semua orang mengetahuinya. Kendati demikian, masyarakat Kabupaten Kuningan lebih mengenalnya sebagai desa penghasil salak pondoh. Memang diakui, salak pondoh bukan berasal dari desa itu. Masyarakatnya hanya melakukan kebiasaan menanam salak, konon menurut cerita ada yang membawa bibitnya.
A. Manan, sekaligus kepala desanya memerkenalkan salak kepada masyarakat untuk menanam salak. Hal itu terjadi kira-kira taun 80-an, sebelum dirinya menjadi aparat desa. Sebelum masyarakat tergiur ajakannya, ia menanam salak di kebunnya sendiri. ternyata hasilnya cukup menggembirakan. Salak pondoh yang ditanam ternyata, rasanya tidak berbeda jauh dengan aslinya.
Rasanya manis, legit, kering tidak berair dan sekal. Rasa kecut, tidak ditemukan dari salak pondoh asal Cimara ini. “Mungkin keasaman tanahnya sama dengan di daerah asalnya sehingga rasanya tidak berkurang,” ungkap A. Manan.
Setelah masyarakat mengetahui nilai ekonomisnya, tidak sedikit yang merubah fungsi tanahnya. Semula sawah tadah hujan, akhirnya menjadi perkebunan salak. Mereka pun dapat menikmati hasil panen dengan harga cukup lumayan. “Masyarakat di sini (Cimara-red) ampir dua puluh taun merasakan manfaat dari perkebunan salak untuk menambah-nambah pendapatan keluarga,” ungkapnya.
Namun demikian, tutur A. Manan, kendala yang dihadapi para petani salak yakni pengembangan usaha perkebunan tidak masimal. Pasalnya, keterbatasan bibit berkualitas juga dana. Padahal, jika diperluas arealnya tidak saja milik warga tentunya sentra-sentra perdagangan buah-buahan dapat tersuplai sekitar 15 persen. Selama ini hanya mampu 5 persennya saja.
Jumlah prosentase itu pun hanya di wilayah III Cirebon saja. Belum masuk ke wilayah Jabodetabek atau ke Jawa Tengah dan Timur. Jika Pemkab Kuningan, memiliki kepedulian tinggi, mungkin saja salak Cimara di daftarkan ke badan dunia sebagai aset daerah. Hanya namanya bukan lagi salak pondoh yang sudah ada, bisa saja menjadi salak ciremai atau salak kuningan.
Tujuan pendaftaran ini, untuk melindungi petani salak di Desa Cimara. Sebab jika masih menggunakan salak pondoh, maka pihaknya harus membayar royalty ke pemilik nama tersebut. Atau ke daerah asal, nama salak itu.***warta desa

Philcoxia minensis Menjebak Nematoda Dengan Daun

Jurnal KeSimpulan.com - Tanaman yang lapar menjebak cacing dengan daun lengket. Tanaman bunga karnivora di tanah berpasir menngunyah cacing gelang menggunakan daun.

Ada baiknya berpikir kembali secara bijak. Mungkin kita harus membuka lagi formulir daftar genus baru tanaman karnivora. Philcoxia genus kecil endemik Brazil, hanya terdiri dari 3 spesies dan belum lama dikonfirmasi tahun 2000 lalu.

Dalam deskripsi asli, ilmuwan sudah mencatat aliran kelenjar dan daun lengket dengan nematoda melekat.

Ini hanya kemungkinan bahwa tanaman tersebut menjebak dan membunuh. Dengan demikian mungkin tanaman karnivora sejati.

Definisi bervariasi, tetapi untuk tanaman karnivora harus membangun adaptasi untuk memancing, perangkap, mencerna dan menyerap nutrisi dari mangsa.

"Ini contoh bagus bagaimana tanaman yang tidak bisa bergerak mencari makanan dan air mampu mengembangkan mekanisme di lingkungan ekstrim," kata Rafael Oliveira, botanis State University of Campinas di Sao Paulo, Brazil.

Philcoxia minensis hidup di tanah berpasir di Cerrado, padang rumput tropis di Brazil. Daun seperti biasa menggantung di atas tanah dan menggunakan Matahari untuk mengubah karbon dioksida menjadi gula.

Philcoxia juga memiliki jaringan kecil daun di bawah tanah. Ini tidak logis. Daun di bawah tanah tidak mampu menyerap sinar Matahari secara maksimal.

"Saya belum pernah melihat tanaman dengan daun di bawah tanah sebelumnya. Jadi hipotesis harus memberi tipe keuntungan lain bagi tanaman," kata Oliveira.

Untuk menguji apakah tanaman ini benar-benar mencerna cacing atau hanya menjebak untuk membuat tanah lebih organik, para peneliti membudidaya Philcoxia minensis lapar di laboratorium bersama nematoda.

Kenyataan daun underground memiliki tujuan licik. Lapisan mengandung kelenjar untuk mensekresi lendir lengket sebagai perangkap cacing-cacing kecil kemudian mencernanya.

"Ini temuan yang indah. Sangat menarik untuk mengetahui apakah perangkap menangkap hewan tanah lainnya atau hanya nematoda dan apakah cacing secara mekanis terjebak dalam sekresi lengket atau dibunuh menggunakan racun," kata Walter Federle, botanis karnivorus University of Cambridge.
Underground leaves of Philcoxia trap and digest nematodes

Caio G. Pereira1, Daniela P. Almenara2, Carlos E. Winter2, Peter W. Fritsch3, Hans Lambers4, dan Rafael S. Oliveira1,4
  1. Plant Functional Ecology Laboratory, Plant Biology Department Institute of Biology Universidade Estadual de Campinas, Campinas 13083-970, São Paulo, Brazil
  2. Laboratory of Nematode Molecular Biology, Department of Parasitology Institute of Biomedical Sciences Universidade de São Paulo, São Paulo 05508-900, São Paulo, Brazil
  3. Department of Botany, California Academy of Sciences, San Francisco, CA 94118
  4. School of Plant Biology, University of Western Australia, Crawley 6009, Australia
PNAS January 9, 2012

Akses : DOI:10.1073/pnas.1114199109
Rafael Oliveira http://www.ib.unicamp.br/ensino/pos/cursos/pos_ecologia/rafael
Walter Federle http://www.zoo.cam.ac.uk/zoostaff/federle/Walter_Federle.html

Dinosaurus Karnivora Majungasaurus crenatissimus Bertangan


Dinosaurus Karnivora Majungasaurus crenatissimus Bertangan

News KeSimpulan.com - 66 juta tahun yang lalu, dinosaurus pemakan daging Majungasaurus crenatissimus berkeliaran di dataran rendah semi-kering Madagaskar.

Rahang kuat dengan gigi seperti taring singa dan kaki kuat berujung di cakar tangguh. Bahkan kerabat sendiri tidak diberi kesempatan, Majungasaurus crenatissimus dikenal kanibalisme. Menakutkan.

Laporan baru di Journal of Vertebrate Paleontologymenunjukkan ada satu bagian yang tidak perlu ditakuti: pelukan.

Majungasaurus crenatissimus pertama kali ditemukan tahun 1895.

Mahajanga Basin Project oleh Stony Brook University dan Université d’Antananarivo antara 1993 dan 2007 menemukan ratusan fosil.

Hampir setiap struktur dari sinus tengkorak hingga ekor mengalami cedera tulang. Para ilmuwan telah menjelaskan dengan sangat rinci.

Tapi anatomi tungkai depanMajungasaurus c. tetap misteri sampai sekarang.

Sara Burch, anatomiolog Stony Brook University, mengatakan lengan Majungasaurus c.seperti anatomi tungkai depan abelisaurida, kelompok dino theropoda eksklusif di daratan selatan yang dikenal sebagai Gondwana.

"Namun, proporsi tungkai ini tidak seperti apa yang kita lihat pada theropoda lain. Tulang lengan bawah pendek, hanya seperempat panjang humerus, tapi sangat kuat," kata Burch.

"Tulang pergelangan bahkan tidak kaku dan jari-jari gemuk mungkin bukan cakar. Proporsi begitu aneh, akhirnya tampak seperti tangan menempel di ujung humerus," kata Burch.

Reduksi ekstremitas bukanlah hal baru bagi theropoda seperti ditekankan oleh Tyrannosaurus rex perkasa. Mengerikan tapi lengan terlalu kecil untuk menggaruk wajahnya sendiri.

"Kelompok lain theropoda yaitu alvarezsaurs datang dengan caranya sendiri. Mereka aneh dengan pengurangan tungkai. Dino juga memiliki tangan dengan lengan sangat pendek," kata Matthew Carrano, paleobiolog Smithsonian Institution.

Dan era theropoda modern bahkan kehilangan beberapa angka melalui evolusi. Mungkin salah satu skenario ini menjelaskan anatomi Majungasaurus? Tidak mungkin, kata Burch.

"Sementara banyak theropoda mengurangi anggota badan tapi mempertahankan proporsi normal. Kita tidak tahu apakah ada kasus lain di mana tulang lengan bawah menjadi lebih kuat dengan cara ini," kata Burch.

"Abelisaurida seperti Majungasaurus c. jelas pada lintasan yang sangat berbeda dengan garis keturunan yang mengarah ke burung," kata Burch.

Tanpa analogi modern, sulit berspekulasi bagaimana tungkai depan pendek digunakan. Tapi menggenggam adalah alternatif jawaban. Anatomi sendi menunjukkan mobilitas besar di siku dan pergelangan tangan, tetapi individu mungkin tidak bisa bergerak secara independen.

Jonah Choiniere, paleontolog American Museum of Natural History, mengatakan lenganMajungasaurus c. menyediakan informasi penting evolusi theropoda.

"Sampai sekarang, pengetahuan sebagian besar tungkai depan abelisaurida datang dari dua spesies Amerika Selatan, Carnotaurus sastrei dan Aucasaurus garridoi," kata Choiniere.

"Berkat penelitian ini, kita sekarang tahu morfologi lebih luas di seluruh Gondwana selama Late Cretaceous. Terlebih lagi, kita sekarang memiliki dasar yang solid untuk memahami anatomi tungkai depan abelisaurida," kata Choiniere.

"Langkah berikutnya menghubungkan anatomi lainnya, theropoda lebih basal dan mengembangkan hipotesis evolusioner yang kuat bagaimana Tungkai depan aneh ini berevolusi," kata Choiniere.
  1. Sara H. Burch (Department of Anatomical Sciences, Health Sciences Center T8 040, Stony Brook University, Stony Brook, New York, 11794-8081, U.S.A) dan Matthew T. Carrano (Department of Paleobiology, P.O. Box 37012, MRC 121, Smithsonian Institution, Washington, District of Columbia, 20012-7013, U.S.A). An articulated pectoral girdle and forelimb of the abelisaurid theropod Majungasaurus crenatissimus from the Late Cretaceous of MadagascarJournal of Vertebrate Paleontology, Volume 32, Issue 1, 12 Jan 2012, DOI:10.1080/02724634.2012.622027

Sara Burch http://www.anat.stonybrook.edu/people/graduatestudents/burch
Matthew Carrano http://paleobiology.si.edu/staff/individuals/carrano.html
Jonah Choiniere http://research.amnh.org/paleontology/jonah-n-choiniere

Gambar : Sara Burch